Calon peserta BPJS Kesehatan mengantri menunggu kelengkapan prosedur administrasi di kantor BPJS di Lhokseumawe, Aceh, Senin, 15 Mei 2017. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengisyaratkan kemungkinan kenaikan iuran peserta. skema asuransi kesehatan nasional. Langkah ini dilakukan seiring rencana BPJS untuk memperkenalkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengisyaratkan kemungkinan kenaikan iuran peserta skema jaminan kesehatan nasional. Langkah ini dilakukan seiring rencana BPJS untuk memperkenalkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025.
Dalam skema KRIS yang baru, layanan kamar rawat inap akan terstandarisasi untuk setiap pasien. Saat ini, kamar dibagi menjadi tiga kelas, yang mungkin berdampak pada kemungkinan kenaikan premi untuk kelas 3.
Meski tak merinci rencana kenaikannya, Ghufron menegaskan besaran preminya tidak akan sama.
“Mungkin ada yang meningkat, atau mungkin ada yang lebih rendah. Tapi yang jelas ini masih menunggu evaluasi,” kata Ghufron di Kantor BPJS Kesehatan di Jakarta, Jumat.
Ghufron menggarisbawahi potensi manfaat penyesuaian tarif terhadap keberlanjutan keuangan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan menekankan bahwa BPJS Kesehatan harus memastikan stabilitas keuangan tanpa kembali mengalami defisit.
Tarif premi baru akan dievaluasi setelah program KRIS resmi dilaksanakan pada 30 Juni 2025.
Iuran peserta BPJS sebesar Rp 150.000 ($9,4) per bulan untuk kelas 1 dan Rp 100.000 untuk kelas 2. Sedangkan premi kelas 3 sebesar Rp 42.000 dengan subsidi pemerintah sebesar Rp 7.000 sehingga dikenakan biaya bulanan sebesar Rp 35.000.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan peralihan sistem kelas BPJS ke Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bertujuan untuk meningkatkan standar pelayanan rawat inap di seluruh rumah sakit. Budi menyoroti pengujian implementasi KRIS yang ekstensif selama setahun.
“Tujuan KRIS adalah untuk meningkatkan standar pelayanan rawat inap minimum di seluruh rumah sakit, bukan menghilangkannya sama sekali. Selain itu, transisi ini akan dilakukan secara bertahap, setelah melakukan pengujian selama lebih dari satu tahun di rumah sakit daerah, swasta, dan pusat,” jelas Budi.
Budi mengatakan, melalui KRIS, layanan rawat inap akan distandarisasi, antara lain okupansi maksimal per kamar, serta penyediaan kamar mandi dalam kamar dan tirai privasi.
“Praktik sebelumnya yang menampung enam hingga delapan pasien dalam satu kamar akan beralih menjadi maksimal empat pasien per kamar di bawah KRIS. Selain itu, semua ruangan kini harus dilengkapi dengan kamar mandi dalam kamar, sehingga menjamin privasi dan kenyamanan pasien,” jelas Budi. .
Budi menegaskan penerapan KRIS bertujuan untuk menjamin pemerataan akses kesehatan bagi 280 juta penduduk Indonesia. Oleh karena itu, rumah sakit diharapkan meningkatkan fasilitasnya untuk memenuhi standar yang ditingkatkan.
“Dengan mengedepankan kualitas layanan, pemerintah berharap rumah sakit dapat meningkatkan fasilitasnya agar dapat melayani masyarakat luas di Indonesia dengan lebih baik,” tutup Budi.