Ketegangan geopolitik di Timur Tengah berdampak signifikan terhadap pasar saham Indonesia (BEI), menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk dari level sebelum Idul Fitri sebesar 7,286 menjadi 7,164 setelah Idul Fitri, dan turun lagi menjadi 7,083 pada penutupan perdagangan Selasa. .
Menyusul serangan balasan Iran terhadap Israel, Rupiah pun ikut anjlok hingga mencapai Rp 16.170 pada sesi perdagangan pertama setelah libur panjang Idul Fitri.
Piter Abdullah Redjalam, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, mengatakan pelemahan Rupiah sejalan dengan tren penurunan mata uang negara-negara emerging market di tengah puncak ketidakpastian global.
Bahkan saham-saham dengan fundamental kuat yang sempat menguat sejak akhir tahun 2023 dan melonjak selama Februari dan Maret 2024 pun anjlok akibat ketidakpastian yang semakin meningkat. Ini termasuk saham-saham non-bank berkapitalisasi besar.
“Faktor Timur Tengah menyebabkan market crash, tidak hanya berdampak pada saham-saham biasa-biasa saja, tapi juga saham-saham berkapitalisasi besar yang menopang indeks di seluruh sektor seperti perbankan, energi, manufaktur, dan telekomunikasi,” kata Piter Abdullah kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
Misalnya, saham Bank Central Asia (BBCA), yang mencapai Rp 10.325 per saham sebelum libur Idul Fitri, turun menjadi Rp 9.475 menyusul serangan Iran terhadap Israel pada 16 April dan mencapai titik terendah Rp 9.350 pada 22 April. Penurunan serupa juga terjadi pada saham bank lain, seperti Bank Mandiri milik negara.
Meski mengalami penurunan, fundamental bank-bank tersebut tetap kokoh pada kuartal I 2024. BBCA mencatatkan laba sebesar Rp 12,9 triliun, naik 11,7 persen year-on-year.
Bank Mandiri juga membukukan laba sebesar Rp 12,7 triliun (naik 1,13 persen year-on-year), BUMN BRI membukukan laba sebesar Rp 15,88 triliun (naik 2,45 persen year-on-year), dan Bank BNI meraih laba sebesar Rp 5,33 triliun (naik 2 persen year-on-year).
“Hal ini mengindikasikan anjloknya harga saham sama sekali tidak berhubungan dengan kinerja keuangan perusahaan,” jelas Piter.
Senada dengan itu, saham emiten non-bank lainnya seperti BUMN telekomunikasi Telkom juga mengalami tekanan.
Pada kuartal I 2024, Telkom mencatatkan pendapatan sebesar Rp 37,4 triliun, tumbuh 3,7 persen year-on-year. EBITDA Telkom meningkat 2,2% year-on-year menjadi Rp 19,4 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 6,1 triliun. Piter mencatat, kinerja Telkom ditopang oleh anak perusahaannya. Pada kuartal I 2024, Telkomsel masih menjadi kontributor pendapatan Telkom terbesar.
Menurut Piter Abdullah, Telkom menghadapi kondisi yang lebih menantang di industri telekomunikasi.
“Sektor telekomunikasi sedang mengalami proses disrupsi yang memerlukan respon cepat dan tepat. Kegagalan dalam merumuskan langkah transformasi dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan perusahaan,” ujarnya.
Saham Astra (ASII) pun anjlok 9,75 persen pada perdagangan 14 Mei. Secara year to date, sahamnya anjlok 19,65 persen. Saham Astra anjlok ke level terendah dalam setahun terakhir akibat menurunnya penjualan mobil.